Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mau Menikmati Alam Selandia Baru di Indonesia? Sumba lah tempatnya

Bukan! ini bukan New Zealand atau Switzerland di kala musim panas, bukan. Ini tanah Indonesia, ini Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan adalah mahkluk Tuhan yang berjalan beriringan dalam kedamaian./poenta.net
Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan adalah mahkluk Tuhan yang berjalan beriringan dalam kedamaian./poenta.net

Bisnis.com, JAKARTA - Bukan! ini bukan New Zealand atau Switzerland di kala musim panas, bukan. Ini tanah Indonesia, ini Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Kalimat tersebut yang selalu terbesit di dalam benakku dan yang terucap berulang-ulang kali oleh beberapa rombongan wartawan lainnya.

Perjalanan mengelilingi Pulau Sumba dimulai ketika kami tiba di Bandara Umbu Mehang Kunda. Bandara kecil tersebut berlokasi di wilayah Waingapu. Waingapu adalah sebuah pusat kota di Sumba Timur yang landskape sama dengan kota-kota pada umumya yakni ada bandara, pasar, kantor pos, hotel, dan rumah makan.

Satu kata yang dapat mendeskripsikan kota kecil tersebut adalah panas. Suhu kota tersebut siang itu di awal Maret tembus hingga 38 derajat Celcius. Terik matahari yang begitu menyengat seakan membuat kulit terbakar.

Namun panas tersebut mampu didinginkan oleh kabar gembira dari Pak Deni, seorang pemandu wisata Sumba yang mengajak rombongan untuk berputar-putar Pulau Sumba.

Dari Kota Waingapu yang panas, kami beranjak lurus terus ke timur ke Desa Kanatang. Sapi dan kerbau yang berkeliaran di tengah jalan raya, kuda yang menyantap rumput dengan santainya di padang yang luas adalah pemandangan yang dapat disaksikan di desa yang berjarak waktu 1 jam dari Waingapu.

Kuda di sini bukanlah kuda besar-besar yang gagah seperti kuda Australia atau Kuda Arab, tetapi kuda kecil yang bentuk badannya mirip dengan keledai. Ya, itu yang disebut dengan Kuda Sandal, kuda pelari kencang asli Sumba.

Si pemandu wisata menjelaskan bahwa kuda di Sumba bukanlah binatang komoditas yang diperjualbelikan layaknya sapi, babi dan kerbau. Fungsi kuda di Sumba adalah sebagai alat transportasi dan mas kawin.

“Semakin cantik dan pintar anak gadis maka kuda yang harus disetor juga harus banyak, mencapai 200 sampai 300 kuda lho,” seloroh Dani.

Selain itu kuda juga dijadikan sebagai sesaji untuk para tetua adat untuk berbicara dengan arwah nenek moyang untuk meramalkan masa depan. Kepercayaan tersebut disebut dengan kepercayaan Merapu yang hingga kini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Sumba.

Berjalan lagi ke arah Timur, kami tiba di Pantai Kuta Sumba.  Kesan panas yang saya peroleh dari Waingapu telah luntur. Di sini saya disambut dengan udara yang segar dan angin sepoi-sepoi. Tak hanya itu kanan dan kiri pantai terdapat padang rumput (savanna) yang terhampar luas. Pemandangan seperti itu membuatku sejenak terhanyut bayang-bayang New Zealand di Benua Australia atau Switzerland di Benua Eropa.

Sapi dan kuda yang kami temui di sana masih saja memakan rumput di savanna tanpa terusik kedatangan kami yang saat itu ada 7 orang. Benar-benar gambaran alam bebas yang saya peroleh di sana. Di mana manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan adalah mahkluk Tuhan yang berjalan beriringan dalam kedamaian.

Perjalanan masih berlanjut, kali ini menuju ke Desa Prenatang. Sebuah desa yang masih dihuni oleh suku Kumbul sejak berpuluh-puluh tahun lalu.  Kami berkunjung ke rumah-rumuh Suku Kumbul. Hunian mereka masih sangat tradisional dengan bambu sebagai bahan dasar rumah. Mata pencaharian mereka adalah berburu dan bercocok tanam. Namun ada satu hal yang mencolok mata yaitu halaman rumah mereka dipenuhi dengan makam-makam keluarga. Mayat mereka hanya dipendam dalam tanah kemudian ditutup dengan bebatuan berukuran besar.

Setelah selesai dengan Desa Prenatang, kami kembali menelisik sisi tradisional Pulau Sumba dengan mengunjungi kampung seni tenun bernama Kampung Kaburo. Kampung tersebut terletak di Desa Rambu Ana. Desa ini sudah mendekati kota Waingapu. Di kampung ini, para ibu bekerja sebagai penenun.

Kain tenun Sumba memakan waktu 1 tahun selama proses produksinya. Proses pewarnaan hanya menggunakan warna-warna asli buah mengkudu dan kemiri. Corak dan gambar kain tenun sumba memiliki ciri khas yaitu khusus menggambarkan tentang cerita kepercayaan Merapu, penguburan raja, perkawinan dan upacara adat.

Plesir Pulau Sumba yang kami lakukan selama 7 jam memberikan kesan yang indah, hijau tanpa batas. Sekali lagi, eksotisme Pulau Sumba tidak kalah dengan negara-negara yang digadang-gadang sebagai tempat terindah macam New Zealand dan Switzerland.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper

Terpopuler