Travel

OBJEK WISATA: Melongok geliat Melaka

Mardianah Noerdjali
Sabtu, 25 Februari 2012 - 10:05
Bagikan

Bulan lalu, Pemerintah Negeri Melaka mengundang 50 orang dari Medan, terdiri dari jurnalis, anggota klub pecinta fotografi, serta perwakilan dari perusahaan biro perjalanan untuk melihat langsung lokasi wisata salah satu provinsi atau negeri di Malaysia itu. Hari masih pagi, sekitar pukul 10.00 WIB, ketika kami tiba di Bandara Batu Berendam, Melaka. Sejak 11 November 2011, Melaka Air membuka rute Medan-Melaka dua kali seminggu-Senin dan Jumat-dengan harga tiket sekitar Rp1,5 juta (pergi-pulang).   Tiba di pintu keluar bandara, kami disambut sebuah bus dengan seorang pemandu wisata dari sebuah perusahaan perjalanan wisata di negara itu, namanya Aminuddin. Belum 5 menit di atas bus, Pak Amin, begitu kami panggil, sudah menjadi pusat perhatian kami. Pak Amin mulai menjelaskan apa yang sebaiknya tidak diucapkan, seperti jangan menyebutkan air minum dengan aqua, karena di sana berarti 'banci', dengan gaya dan mimik lucu. Jadilah, selama di bus dalam perjalanan 4 hari, kami dihibur Pak Amin dengan gaya stand up comedy. Kami menginap di Hotel Avillon, di Jalan Hang Tuah 146 Melaka. Tidak jauh berbeda dengan hotel berbintang lain sebenarnya, tetapi Pak Amin berhasil membuat kami bangga pernah menginap di hotel ini dengan cerita sejarahnya.   Hotel Avillion mulai berdiri pada 1998 dan menjadi salah satu situs Warisan Dunia (World Heritage) yang ditetapkan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), sejak Juli 2008. Jalan Hang Tuah merupakan salah satu ruas jalan di pusat Kota Melaka. Dulunya, kawasan itu menjadi pusat kota dan pusat pemerintahan, tetapi sejak beberapa tahun terakhir menjadi pusat bisnis dan pusat pendidikan, karena semua kantor pemerintahan di pindah ke lokasi lain. Kebijakan memindahkan pusat pemerintahan dari pusat kota merupakan kebijakan Pemerintah Malaysia, seperti pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, sehingga tidak ada penumpukan aktivitas warga di sebuah lokasi,  alias untuk meratakan pembangunan kawasan. Selama 4 hari, kami melalui jalan-jalan di Melaka, bersih dan teratur. Infrastruktur jalan mulus. Tidak ada ditemui sampah di tempat umum. Kombinasi perilaku warga yang tertib dan bersih, serta berhasilnya pemerintah menjalankan fungsinya membangun sarana dan prasarana publik. Jujur saja, awalnya lokasi wisata yang ditampilkan oleh kota ini tidak begitu menarik perhatian saya. Betapa tidak, mana mungkin Danau Toba yang elok di Pulau Sumatra bisa ditandingi sungai (river cruise) yang membelah sebagian pusat kota Melaka. Namun, saya sangat jatuh cinta dengan cara mereka memaksimalkan semua sumber daya alam yang ada untuk menarik wisatawan. Tembok rumah dan gedung yang membelakangi lintasan river cruise dilukis oleh mahasiswa seni rupa Melaka sehingga menjadi pemandangan indah. Sangat sederhana, tidak baru, tetapi dilakukan. Dilakukan, itulah mungkin bedanya dengan pemerintah di Indonesia: banyak ide, tetapi tidak direalisasikan. Tidak heran jika kota berpenduduk sekitar 700.000 orang ini mampu mengundang 11 juta wisatawan pada tahun lalu. Menurut, Mohd. Ali Bin Mohn Rustam, Ketua Menteri Melaka, tahun ini pihaknya menargetkan jumlah wisatawan asing mencapai 12 juta orang. Bersih & terawat Dengan luas wilayah hanya 1.650 km2, Melaka telah memiliki puluhan situs wisata yang terawat dan bersih. Bahkan hampir semua pengelola wisata yang kami jumpai memiliki ambisi untuk terus meningkatkan fasilitas situsnya masing-masing untuk jangka panjang. Beberapa kawasan wisata itu antara lain Bukit China, Bukit Senjuang, Masjid Tanah, Melaka Pindah, Pulau Besar, Kampung Tedong, Gereja Kristus Melaka, Museum Pemuda Malaysia, Gereja St. Francis Xavier, Gereja St. Paul, dan Porta De Santiago. Ada lagi situs Pemakaman Belanda, Museum Rakyat Melaka, Makam Hang Jebat, Kuil Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi, Masjid Kampung Kling, Museum Warisan Baba dan Nyonya, Persiaran Jonker-Jonker Walk, Cheng Hoon Teng Temple, dan Makam Hang Kasturi. Juga Masjid Kampung Hulu, Villa Sentosa, Gereja St. Peter, Melaka, Kuil Sam Po Kong, Kuil Hang Li Poh, Perigi Hang Li Poh, Kota St. John, Dataran Portugis, Masjid Tranquerah, Museum Laut Kampung Chitty, dan Kampung Semabok. Rasanya 4 hari tidak cukup mengunjungi semua kawasan wisata di Melaka. Ada sekitar 18 lokasi wisata yang sempat kami kunjungi. Jadwal ini cukup padat dan melelahkan, sampai saya ketiduran pada saat menyaksikan film antariksa di Planetarium Melaka. Namun, saya tidak bisa menampik kekaguman saya terhadap upaya pemerintah menjadikan sektor pariwisata sebagai pendorong utama ekonomi negara itu yang menurut Abdul Kadir bin MD Idris, Kepala Dinas Pariwisata Melaka, sudah menyumbang 40% dari PDRB Melaka. "Tidak lebih dari 10 tahun, Melaka berbenah menjadi tujuan wisata. Pengakuan World Heritage dari UNESCO tidak diperoleh dengan mudah. Diajukan 2002, baru disetujui pada 2007.  Pemerintah aktif promosi ke luar dan perbaikan di dalam negeri," jelasnya bersemangat. Hasil lain, sektor pariwisata sudah membawa Melaka menjadi kota paling bersih di Malaysia sejak 2006 dengan angka pengangguran terendah. Nilai-nilai budaya dari kisah kerajaan Melayu, seperti Hang Tuah dan Hang Jebat digali sedemikian rupa. Melaka juga memiliki nama lain, sesuai dengan image yang diinginkan terhadap negeri ini, yaitu Melaka Bandaraya Bersejarah, Melaka Maju, Negeri Bandar (Kota) Teknologi Hijau. Geliat kota ini telah memukau saya. ([email protected]) (tw)   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Nadya Kurnia
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro